hukum dagang

Sunday, 15 June 2014

pengertian tata hukum

BAB I

TATA HUKIM INDONESIA DAN POLITIK HUKOEM INDONESIA

 

1.1. PENGERTIAN TATA HUKOEM

Jika kita berbicara Hukoem, maka Hukoem dalam bahasa Inggris “Law”, Belanda “Recht”, Jerman “Recht”, Italia “Dirito”, Perancis “Droit”. Hukoem hidup dalam pergaulan hidup manusia, seperti kita lihat cerita Robinson Croese yang terdampar di sebuah pulau dimana ia hidup sendiri dan ia dapat berbuat sesuka hatinya tanpa ada yang menghalanginya. Ia tidak butuh Hukoem, artinya Hukoem itu baru dibutuhkan dalam pergaulan hidup. Dimana fungsinya adalah memperoleh ketertiban dalam hubungan antar manusia. Menjaga jangan sampai seseorang dapat dipaksa oleh orang lain untuk melakukan sesuatu yang tidak kehendaknya, dan lain-lain. Tetapi ada faktor lain selain tata tertib yang terdapat pada Hukoem yaitu keadilan, suatu sifat khas pada Hukoem yang tidak terdapat pada ketentuan ketentuan ketentuan lainnya yang bertujuan untuk mencapai tata tertib. Jadi Hukoem itu berkenaan dengan kehidupan manusia, ialah manusia dalam hubungan antar manusia untuk mencapai tata tertib didalamnya berdasarkan keadilan. Dalam hubungan Hukoem dan Negara, baik Hukoem maupun negara muncul dari kehidupan manusia karena keinginan bathinnya untuk memperoleh tata tertib. Sehubungan dengan hal itu mengingat tujuan negara adalah menjaga dan memelihara tata tertib. Di Negara Indonesia seperti kita ketahui bahwa tata Hukoem di Indonesia ialah Hukoem yang berlaku sekarang di Indonesia (Ius Constitutum), berlaku disini berarti yang memberikan akibat Hukoem pada peristiwa-peristiwa dalam pergaulan hidup, sedangkan sekarang adalah menunjukkan kepada pergaulan hidup yang ada pada saat ini dan bukan pergaulan hidup masa lampau, di Indonesia menunjukkan kepada pergaulan hidup yang terdapat pada Republik Indonesia dan bukan negara lain. Tata Hukoem disebut juga Hukoem Positif atau Ius Constitutum, sedang Hukoem yang dicita-citakan adalah Ius constituendum.

 

1.2. SEJARAH TATA HUKOEM INDONESIA

Sejarah Tata Hukoem Indonesia

Seperti diketahui, bahwa di Indonesia terdapat beraneka ragam peraturan perundang-udangan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Indonesia sejak Proklamasi 17 Agusus 1945. Disamping peraturan tersebut juga terdapat peraturan-peraturan zaman penjajahan Hindia Belanda dan bala tentara jepang yang masih berlaku di Indonesia. Oleh karena itu dalam pembahasan Tata Hukoem Indonesia tidaklah dapat lepas dari pembahasan sejarah Perkembngan Tata Hukoem Indonesia sejak kekuasaan Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), Penjajahan Hindia Belanda sampai dengan Penjajahan balatentara

Jepang. Berikut ini dibahas secara singkat sejarah perkembangan Tata Hukoem Indonesia.

 

a.       Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC)

VOC yang didirikan oleh para pedagang orang Belanda tahun 1602 maksudnya supaya tidak terjadi persaingan antara para pedagang yang membeli rempah-rempah dari orang pribumi dengan tujuan untuk mendapat keuntungan yang besar di pasaran Eropa. Sebagai kompeni

dagang oleh pemerintahan Belanda diberikan hak-hak istimewa (octrooi)

seperi hak monopoli pelayaran dan perdagangan, hak membentuk angkatan perang, hak mendirikan benteng, mengumumkan perang, mengadakan perdamain dan hak mencetak uang.

Pada tahun 1610 pengurus pusat VOC di belanda memberikan wewenang kepada Gebernur Jederal Piere Bith untuk membuat peraturan dalam menyelesaikan perkara Istimewa yang harus disesuaikan dengan kebutuhan para pegawai VOC di daerah-daerah yang dikuasainya, disamping ia dapat memutuskan perkara perdata dan pidana. Peraturanperaturan tersebut dibuat dan diumumkan berlakunya melalui “plakat”. Pada tahun 1642 plakat-plakat tersebut disusun secara sistimatis dan diumumkan dengan nama “Statuta van Batavia” (statuta batavia) dan pada tahun 1766 diperbaharui dengan nama “Niewe Bataviase Statuten” (statuta Batavia Baru). Peraturan statuta ini berlaku diseluruh daerah-daerah kekuasaan VOC berdampigan berlakunya dengan aturan-aturan Hukoemlainnya sebagai satu sistem Hukoem sendiri dari orang-orang Pribumi dan Orang-Orang pendatang dari luar.

 

b.      Penjajahan Pemerintahan Belanda 1800-1942

Sejak berakhirnya kekuasaan VOC pada tanggal 31 Desember 1977 dan dimulainya Pemerintahan Hindia Belanda pada Tanggal 1 Januari 1800, hingga masuk pemerintahan jepang, banyak peraturan-peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Yang menjadi pokok peraturan pada zaman Hindia belanda adalah:

1.       Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (A.B) Peraturan ini dikeluarkan pada tanggal 30 April 1847 termuat dalam Stb 1847 No. 23. Dalam masa berlakunya AB terdapat beberapa peraturan lain yang juga diberlakukan antara lain:

a)      Reglement of de Rechterlijke Organisatie (RO) atau peraturan organisasi Pengadilan.

b)      Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukoem Sipil/Perdata (KUHS/KUHP)

c)       Wetboek van Koophandel (WvK) atau Kitab Undang-Undang Hukoem Dagang (KUHD)

d)      Reglement op de Burgerlijke Rechhtsvordering (RV) atau peraturan tentang Acara Perdata. Semua peraturan itu diundangkan berlaku di Hindia Belnda sejak tanggal 1 Mei 1845 melalui Stb 1847 No. 23.

2.       Regering Reglement (R.R.), diundangkan pada tanggal 2 September 1854, yang termuat dalam Stb 1854 No. 2. Dalam masa berlakunya R.R. selain tetap memberlakukan peraturan perundang-undangan yang ada juga memberlakukan Wetboek van Strafrecht atau Kitab Undang-Undang Hukoem Pidana.

3.       Indische Staatsregeling (I.S.), atau peraturan ketatanegaraan Indonesia yang

4.       merupakan pengganti dari R.R Sejak tanggal 23 Juli 1925 R.R. diubah menjadi I.S. yang termuat dalam Stb 1925 No. 415, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Janiari 1926.

 

c.       Penjajahan Tentara Jepang

Peraturan pemerintahan Jepang adalah Undang-Undang No.1 tahun 1942 (Osamu Sirei) yang menyatakan berlakunya kembali semua peraturan perundang-undangan Hindia Belanda selama tidak bertentangan dengan kekuasaan Jepang.

 

 

1.3. POLITIK HUKOEM INDONESIA

Berlakunya Hukoem dalam suatu negara ditentukan oleh Politik Hukoem negara yang bersangkutan, disamping kesadaranan Hukoem masyarakat dalam negara itu. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan politik Hukoem hendaknya perlu diketahui terlebih dahulu arti Politik Hukoem. Arti Politik Hukoem adalah Suatu jalan (kemungkinan) untuk memberikan wujud sebenarnya kepada yang dicita-citakan. Dapat pula dilihat pendapat Padmo Wahyono bahwa Politik Hukoem adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk dan isi Hukoem yang akan dibentuk. Oleh karena itu berdasarkan pengertian tersebut, suatu politik Hukoem memiliki tugasnya meneruskan perkembangan Hukoem dengan berusaha membuat suatu ius constituendum menjadi ius constitutum atau sebagai penganti ius constitutum yang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat. Sedangkan politik Hukoem berbeda artinya dengn ilmu politik, sebab ilmu politik memiliki pengertian menyelidiki sampai seberapa jauh batas realisasi yang dapat melaksanakan cita-cita sosial dan kemungkinan apa yang dapat dipakai untuk mancapai suatu pelaksanaan yang baik dari cita-cita sosial itu.

Politik Hukoem suatu negara biasanya dicantumkan dalam Undang- Undang Dasarnya tetapi dapat pula diatur dalam peraturan-peraturan lainnya. Politik Hukoem dilaksanakan melalui dua segi, yaitu dengan bentuk Hukoem dan corak Hukoem tertentu.

Bentuk Hukoem itu dapat:

 

(1)    Tertulis yaitu aturan-aturan Hukoem yang ditulis dalam suatu Undang- Undang dan berlaku sebagai Hukoem positif. Dalam bentuk tertulis ada dua macam yaitu:

a.       Kodifikasi ialah disusunnya ketentuan-ketentuan Hukoem dalam sebuah kitab secara sistematik dan teratur.

b.      Tidak dikodifikasikan ialah sebagai undang-undang saja.

 

(2)    Tidak tertulis yaitu aturan-aturan Hukoem yang berlaku sebagai Hukoem yang semula merupakan kebiasaan-kebiasaan dan Hukoem kebiasaan.

 

Corak Hukoem dapat ditempuh dengan:

(1)    Unifikasi yaitu berlakunya satu sistem Hukoem bagi setiap orang dalam kesatuan kelompok sosial atau suatu negara.

(2)    Dualistis yaitu berlakunya dua sistem Hukoem bagi dua kelompok sosial yang berbeda didalam kesatuan kelompok sosial atau suatu negara.

(3)    Pluralistis yaitu berlakunya bermacam-macam sistem Hukoem bagi kelompok-kelompok sosial yang berbeda di dalam kesatuan kelompok sosial atau suatu negara.

 

Di atas telah dijelaskan arti, bentuk, dan corak politik Hukoem, berikut ini dibahas Politik Hukoem bangsa Indonesia. Keberadaan Hukoem di Indonesia sebagaimana telah dijelaskan diatas sangatlah dipengaruhi oleh keberadaan sejarah Hukoem. Hal ini dapat dilihat masih banyaknya undang-undang yang dibuat jaman Hindia Belanda sampai sekarang masih berlaku. Selain itu, masuknya Hukoem Islam juga mempengaruhi Hukoem di Indonesia, sebagian permasalahan-permasalahan perdata masih menggunakan Hukoem Islam. Oleh karen itu, perlu diketahui terlebih dahulu bagaimana politik Hukoem Hindia Belanda sehingga dapat memahami bagaimana Politik Hukoem Indonesia. Keberadaan Politik Hukoem Hindia Belanda dapat dilihat berdasarkan berlakunya 3 pokok peraturan Belanda (sebagaimana dijelaskan diatas) yaitu masa berlakunya AB, RR dan IS.

Masa Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (A.B) Pada masa berlakunya AB politik Hukoem Pemerinthan penjajahan Hindia belanda dapat dilihat dalam pembagian golongan dan berlakunya Hukoem bagi masing-masing golongan tersebut. Pemerintahan Hindia Belanda berdasarkan Pasal 5 AB membagi kedalam dua golongan, pasal ini menyatakan bahwa penduduk Hindia Belanda di bedakan kedalam Golongan Eropa (berserta mereka yang dipersamakan) dan Golongan Pribumi (berserta mereka

yang dipersamakan dengannya). Sedangkan Hukoem yang berlaku bagi masing-asing golongan tersebut diatur didalam Pasal 9 AB dan Pasal 11 AB. Adapun yang diatur didalam kedua pasal tersebut adalah (dibawah ini bukan merupakan bunyi pasal melainkan kesimpulan dari bunyi pasal tersebut):

Pasal 9 AB “Menyatakan bahwa Kitab Undang-Undang Hukoem perdata dan Kitab Undang-Undang Hukoem dagang (yang diberlakukan di hindia belanda) hanya akan berlaku untuk orang Eropa dan bagi mereka yang dipersamakan dengannya”.

Pasal 11 AB “Menyatakan bahwa untuk golongan penduduk pribumi oleh hakim akan diterapkan Hukoem agama, pranata-pranata dan kebiasaan orang-orang pribumi itu sendiri, sejauh Hukoem, pranata dan kebiasaan itu tidak berlawanan dengan asas-asas kepantasan dan keadilan yang diakui umum dan pula apabila terhadap orang-orang pribumi itu sendiri ditetapkan berlakunya Hukoem eropa atau orang pribumi yang bersangkutan telah menundukan diri pada Hukoem eropa”.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka pemerintah penjajahan Belanda melaksanakan politik Hukoemnya dengan bentuk Hukoem tertulis dan tidak tertulis. Bentuk Hukoem perdata tertulis ada yang dikodifikasikan dan terdapat di dalam Burgerlijk Wetboek (BW) dan Wetboek van Koophandel (WvK); yang tidak dikodifikasikan terdapat di dalam undang-undang dan peraturan lainnya yang dibuat sengaja untuk itu. Sedangkan yang tidak tertulis, yaitu Hukoem perdata Adat dan berlaku bagi setiap orang di luar golongan Eropa. Corak Hukoemnya dilaksanakan dengan dualistis, yaitu satu sistem Hukoem perdata yang berlaku bagi golongan Eropa dan satu sistem Hukoem perdata lain yang berlaku bagi golongan Indonesia.

Membedakan golongan untuk memberlakukan Hukoem perdataberdasarkan sistem Hukoem dari masing-masing golongan menurut pasal 11 AB itu sangat sulit dalam pelaksanaannya. Hal ini disebabkan tidak adanya asas pembedaan yang tegas walaupun ada ketentuan   pembagian golongan berdasarkan pasal 5. Dalam pasal 5 hanya menyatakan orang Eropa, orang Bumiputra, orang yang disamakan dengan orang Eropa dan orang yang

disamakan dengan orang Bumiputra.

Pembagian golongan menurut pasal 5 hanya berdasarkan kepada perbedaan agama, yaitu yang beragama Kristen selain orang Eropa disamakan dengan orang Eropa dan yang tidak beragama Kristen disamakan dengan orang Indonesia. Karena itu dapat dikatakan bahwa bagi setiap orang yang beragama Kristen yang bukan orang Eropa kedudukan golongannya sama dengan orang Eropa, berarti bagi orang Indonesia Kristen termasuk orang yang disamakan dengan orang Eropa. Hal ini tentunya berlaku juga bagi orangorang Cina, Arab, India dan orang-orang lainnya yang beragama Kristen disamakan dengan orang Eropa. Sedangkan bagi orang-orang yang tidak beragama Kristen selain orang Indonesia dipersamakan kedudukannya dengan orang bumiputra.

Tetapi karena pasal 10 AB memberikan wewenang kepada GubernurJenderal untuk menetapkan peraturan pengecualian bagi orang Indonesia Kristen, maka melalui S. 1848: 10, pasal 3 nya Gubernur Jenderal menetapkan bahwa “orang Indonesia Kristen dalam lapangan Hukoem sipil dan hukurn dagang juga mengenai perundang-undangan pidana dan peradilan pada umumnya tetap dalam kedudukan Hukoemnya yang lama”. Dengan demikian berarti bahwa bagi orang Indonesia Kristen tetap termasuk golongan orang bumiputra dan tidak dipersamakan dengan orang Eropa.

Masa Regering Reglement (R.R.)

Politik Hukoem pemerintah jajahan yang mengatur tentang pelaksanaan tata Hukoem pemerintah di Hindia Belanda itu dicantumkan dalam pasal 75 RR yang pada asasnya seperti tertera dalam pasal 11 AB. Sedangkan pembagian penghuninya tetap dalam dua golongan, hanya saja tidak berdasarkan perbedaan agama lagi melainkan atas kedudukan “yang menjajah” dan “yang dijajah” Dan ketentuan terhadap pembagian golongan ini dicantumkan dalam pasal 109 Regerings Reglement. Adapun yang diatur dalam kedua pasal tersebut adalah (dibawah ini bukan merupakan bunyi pasal melainkan kesimpulan dari bunyi pasal tersebut):

Pasal 109 RR “Pada pokoknya sama dengan Pasal 5 AB tetapi orang Pribumi yang beragama Kristen tetap dianggap orang pribumi dan bagi orang Tionghoa,Arab serta India dipersamakan dengan Bumi Putera”.

Pasal 75 RR “Menyatakan tetap memberlakukan Hukoem eropa bagi orang eropa dan Hukoem adat bagi golongan lainnya”.

Pada tahun 1920 RR itu mengalami perubahan terhadap beberapa pasal tertentu dan kemudian setelah diubah dikenal dengar sebutan RR (baru) dan berlaku sejak tanggal 1 Januari 1920 sampai 1926. Karena itu selama berlakunya dari tahun 1855 sampai 1926 dinamakan Masa Regerings Reglement.

Sedangkan politik Hukoem dalam pasal 75 RR (baru) mengalami perubahan asasterhadal penentuan penghuni menjadi “pendatang” dan “yang didatangi”. Sedangkan penggolongannya dibagi menjadi tiga golongan, yaitu golongan Eropa, Indonesia dan Timur Asing.

Masa Indische Staatsregeling (I.S.) Berlakunya IS dengan sendirinya telah menghapus berlakunya RR. Politik Hukoem Pemerintahan hindia belanda pasa saat berlakunya IS dapat dilihat dalam Pasal 163 IS dan 131 IS. pada Pasal 163 IS mengatur pembagian golongan, yang pada intinya seluruh isinya dikutip dari Pasal 109 RR (baru). Sedangakan Pasal 131 IS mengatur Hukoem yang berlaku bagi masing-masing golongan tersebut. Adapun yang diatur dalam kedua pasal tersebut adalah (dibawah ini bukan merupakan bunyi pasal melainkan kesimpulan dari bunyi pasal tersebut):

Pasal 163 IS

Penduduk Hindia Belanda dibedakan atas tiga golongan, yakni :

1.       Golongan Eropa

2.       Golongan Bumi Putera

3.       Golongan Timur Asing.

Pasal 131 IS meyatakan beberapa hal yakni :

1.       Menghendaki supaya Hukoem itu ditulis tetap di dalam ordonansi.

2.       Memberlakukan Hukoem belanda bagi warga negara belanda yang tinggal di hindia belanda berdasarkan asas konkordansi.

3.       Membuka kemungkinan untuk unifikasi Hukoem yakni menghendaki penundukan bagi golongan bumiputra dan timur asing untuk tunduk kepada Hukoem Eropa.

4.       Memberlakukan dan menghormati Hukoem adat bagi golongan bumi putera apabila masyarakat menghendaki demikian.

Pembagian golongan penghuni berdasarkan Pasal 163 IS sebenarnya untuk menentukan sistem-sistem Hukoem yang berlaku bagi masing-masing golongan sebagaimana tercantum dalam Pasal 131 IS. Diatas telah dijelaskan politik Hukoem pada masa penjajahan belanda, dibawah ini akan dijelasakan politik Hukoem Indonesia setelah merdeka. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka, setelah Indonesia merdeka bagaimanakah politik Hukoem Indonesia. Untuk mengetahui keberadaan politik Hukoem di Indonesia dapat dianalisa berdasarkan berlakunya Undang- Undang Dasar di Indonesia.

Setelah Indonesia merdekan sebagai bangsa yang lepas dari penjajahan, maka sebagai dasar negara dibentuklah UUD 1945 yang mengatur kehidupan bernegara dan berbangsa Indonesia. Undang-Undang Dasar yang diberlakukan sampai sekarang ini adalah Undang-Undang Dasar 1945 menurut Dekrit Presiden. Pada umumnya suatu negara mencantumkan politik Hukoem negaranya di dalam Undang-Undang Dasar, tetapi ada juga negara yang mencantumkan politik Hukoemnya di luar Undang-Undang Dasar. Bagi negara yang tidak mencantumkan politik Hukoemnya di Undang-Undang Dasar biasanya mencantumkan di dalam suatu bentuk ketentuan lain.

UUD 1945 yang berbatang tubuh 37 pasal tidak mencantumkan tentang politik Hukoem negara. Hal ini berbeda dengan UUDS 1950 yang mencantumkan politik Hukoemnya di dalam Pasal 102, yang berbunyi: “Hukoem perdata dan Hukoem dagang, Hukoem pidana sipil maupun militer, Hukoem acara perdata maupun Hukoem acara pidana, susunan dan kekuasaan pengadilan diatur dalam undang-undang dalam kitab Hukoem. Kecuali jika pengundang-undang menggap perlu untuk mengatur beberapa hal dalm undang-undang sendiri”. Berdasarkan Pasal 102 UUDS 1950 arah politik Hukoem yang dikehendaki membentuk suatu Hukoem tertulis yang dikodifikasi. Tetapi sebagaimana diketahui dasar negara yang digunakan adalah UUD 1945, maka politik Hukoem sebagai mana tercantum di dalam Pasal 102 tersebut tidaklah berlaku.

Oleh karena UUD 1945 tidak mengatur politik Hukoem maka didalam pelasanaan Hukoem berlandasakan kepada Pasal II aturan peralihan UUD 1945. Di dalam Pasal II aturan peralihan UUD 1945 diatur bahwa “Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undag Dasar ini”. Ketentuan Pasal II aturan peralihan ini bukan merupakan politik Hukoem hanya suatu ketentuan yang memiliki fungsi untuk mengisi kekosongan Hukoem. Fungsinya sama dengan pasal 142 UUDS 1950 dan Pasal 192 UUD RIS yang menyatakan tetap berlakunya peraturan perundangan Hukoem dan tata usaha yang telah berlaku sebelum berlakunya UUD saat itu.

Dengan adanya Pasal II Aturan Peralihan kekosongan Hukoem dapat diatasi, yang berarti bahwa aturan-aturan Hukoem yang berlaku pada jaman penjajahan Belanda tetap berlaku selama belum adanya Hukoem yang baru. Berlakunya Pasal II aturan peralihan ini disebut dengan asas konkordansi. Tetapi, walaupun masih ada peraturan Hukoem Belanda yang berlaku setelah menjadi negara merdeka dewasa ini sebenarnya tidak bertujuan seperti penjajah Belanda pada zamannya, melainkan hanya sebagai alasan “jangan sampai terjadi kekosongan Hukoem” saja, sebab kekosongan Hukoem berarti tidak adanya suatu pegangan dalam tata tertib hidup. Hal ini akan sangat berbahaya dibanding melanjutkan berlakunya aturan Hukoem Belanda walaupun sudah banyak yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dalam pergaulan Hukoem di Indonesia. Karena itu pemerintah terus berusaha mewujudkan Hukoem nasional sebagai penggantinya yang dinyatakan secara berencana melalui politik Hukoemnya dalam haluan negara. Suatu perumusan politik Hukoem yang dinyatakan secara tegas dan bertahap dicantumkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

 

No comments:

Post a Comment