BAB I
TATA HUKIM INDONESIA DAN POLITIK HUKOEM INDONESIA
1.1. PENGERTIAN TATA HUKOEM
Jika kita berbicara Hukoem, maka Hukoem dalam bahasa
Inggris “Law”, Belanda “Recht”, Jerman “Recht”,
Italia “Dirito”, Perancis “Droit”. Hukoem hidup dalam pergaulan
hidup manusia, seperti kita lihat cerita Robinson Croese yang terdampar di
sebuah pulau dimana ia hidup sendiri dan ia dapat berbuat sesuka hatinya tanpa
ada yang menghalanginya. Ia tidak butuh Hukoem, artinya Hukoem itu baru
dibutuhkan dalam pergaulan hidup. Dimana fungsinya adalah memperoleh ketertiban
dalam hubungan antar manusia. Menjaga jangan sampai seseorang dapat dipaksa
oleh orang lain untuk melakukan sesuatu yang tidak kehendaknya, dan lain-lain.
Tetapi ada faktor lain selain tata tertib yang terdapat pada Hukoem yaitu
keadilan, suatu sifat khas pada Hukoem yang tidak terdapat pada ketentuan
ketentuan ketentuan lainnya yang bertujuan untuk mencapai tata tertib. Jadi Hukoem
itu berkenaan dengan kehidupan manusia, ialah manusia dalam hubungan antar
manusia untuk mencapai tata tertib didalamnya berdasarkan keadilan. Dalam
hubungan Hukoem dan Negara, baik Hukoem maupun negara muncul dari kehidupan
manusia karena keinginan bathinnya untuk memperoleh tata tertib. Sehubungan
dengan hal itu mengingat tujuan negara adalah menjaga dan memelihara tata
tertib. Di Negara Indonesia seperti kita ketahui bahwa tata Hukoem di Indonesia
ialah Hukoem yang berlaku sekarang di Indonesia (Ius Constitutum), berlaku
disini berarti yang memberikan akibat Hukoem pada peristiwa-peristiwa dalam
pergaulan hidup, sedangkan sekarang adalah menunjukkan kepada pergaulan hidup
yang ada pada saat ini dan bukan pergaulan hidup masa lampau, di Indonesia
menunjukkan kepada pergaulan hidup yang terdapat pada Republik Indonesia dan
bukan negara lain. Tata Hukoem disebut juga Hukoem Positif atau Ius
Constitutum, sedang Hukoem yang dicita-citakan adalah Ius
constituendum.
1.2. SEJARAH TATA HUKOEM INDONESIA
Sejarah Tata Hukoem
Indonesia
Seperti diketahui, bahwa di Indonesia terdapat beraneka ragam
peraturan perundang-udangan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Indonesia sejak
Proklamasi 17 Agusus 1945. Disamping peraturan tersebut juga terdapat
peraturan-peraturan zaman penjajahan Hindia Belanda dan bala tentara jepang
yang masih berlaku di Indonesia. Oleh karena itu dalam pembahasan Tata Hukoem
Indonesia tidaklah dapat lepas dari pembahasan sejarah Perkembngan Tata Hukoem
Indonesia sejak kekuasaan Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC),
Penjajahan Hindia Belanda sampai dengan Penjajahan balatentara
Jepang. Berikut ini
dibahas secara singkat sejarah perkembangan Tata Hukoem Indonesia.
a. Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC)
VOC yang didirikan oleh para pedagang orang Belanda tahun 1602
maksudnya supaya tidak terjadi persaingan antara para pedagang yang membeli
rempah-rempah dari orang pribumi dengan tujuan untuk mendapat keuntungan yang
besar di pasaran Eropa. Sebagai kompeni
dagang oleh pemerintahan
Belanda diberikan hak-hak istimewa (octrooi)
seperi hak monopoli
pelayaran dan perdagangan, hak membentuk angkatan perang, hak mendirikan
benteng, mengumumkan perang, mengadakan perdamain dan hak mencetak uang.
Pada tahun 1610 pengurus
pusat VOC di belanda memberikan wewenang kepada Gebernur Jederal Piere Bith
untuk membuat peraturan dalam menyelesaikan perkara Istimewa yang harus
disesuaikan dengan kebutuhan para pegawai VOC di daerah-daerah yang
dikuasainya, disamping ia dapat memutuskan perkara perdata dan pidana.
Peraturanperaturan tersebut dibuat dan diumumkan berlakunya melalui “plakat”. Pada
tahun 1642 plakat-plakat tersebut disusun secara sistimatis dan diumumkan
dengan nama “Statuta van Batavia” (statuta batavia) dan pada tahun 1766
diperbaharui dengan nama “Niewe Bataviase Statuten” (statuta Batavia Baru).
Peraturan statuta ini berlaku diseluruh daerah-daerah kekuasaan VOC berdampigan
berlakunya dengan aturan-aturan Hukoemlainnya sebagai satu sistem Hukoem
sendiri dari orang-orang Pribumi dan Orang-Orang pendatang dari luar.
b. Penjajahan Pemerintahan Belanda 1800-1942
Sejak berakhirnya kekuasaan VOC pada tanggal 31 Desember 1977 dan
dimulainya Pemerintahan Hindia Belanda pada Tanggal 1 Januari 1800, hingga
masuk pemerintahan jepang, banyak peraturan-peraturan perundang-undangan yang
telah dikeluarkan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Yang menjadi pokok
peraturan pada zaman Hindia belanda adalah:
1. Algemene Bepalingen van Wetgeving voor
Indonesia (A.B) Peraturan ini dikeluarkan pada tanggal 30 April 1847
termuat dalam Stb 1847 No. 23. Dalam masa berlakunya AB terdapat beberapa peraturan
lain yang juga diberlakukan antara lain:
a) Reglement of de Rechterlijke
Organisatie (RO) atau peraturan organisasi Pengadilan.
b) Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab
Undang-Undang Hukoem Sipil/Perdata (KUHS/KUHP)
c) Wetboek van Koophandel (WvK) atau Kitab
Undang-Undang Hukoem Dagang (KUHD)
d) Reglement op de Burgerlijke
Rechhtsvordering (RV) atau peraturan tentang Acara Perdata. Semua
peraturan itu diundangkan berlaku di Hindia Belnda sejak tanggal 1 Mei 1845
melalui Stb 1847 No. 23.
2. Regering Reglement (R.R.), diundangkan pada
tanggal 2 September 1854, yang termuat dalam Stb 1854 No. 2. Dalam masa
berlakunya R.R. selain tetap memberlakukan peraturan perundang-undangan yang
ada juga memberlakukan Wetboek van Strafrecht atau Kitab
Undang-Undang Hukoem Pidana.
3. Indische Staatsregeling (I.S.), atau
peraturan ketatanegaraan Indonesia yang
4. merupakan pengganti dari R.R Sejak tanggal 23
Juli 1925 R.R. diubah menjadi I.S. yang termuat dalam Stb 1925 No. 415, yang
mulai berlaku pada tanggal 1 Janiari 1926.
c. Penjajahan Tentara Jepang
Peraturan pemerintahan Jepang adalah Undang-Undang No.1 tahun 1942
(Osamu Sirei) yang menyatakan berlakunya kembali semua peraturan
perundang-undangan Hindia Belanda selama tidak bertentangan dengan kekuasaan
Jepang.
1.3. POLITIK HUKOEM INDONESIA
Berlakunya Hukoem dalam suatu negara ditentukan oleh Politik Hukoem
negara yang bersangkutan, disamping kesadaranan Hukoem masyarakat dalam negara
itu. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan politik Hukoem hendaknya perlu
diketahui terlebih dahulu arti Politik Hukoem. Arti Politik Hukoem adalah Suatu
jalan (kemungkinan) untuk memberikan wujud sebenarnya kepada yang
dicita-citakan. Dapat pula dilihat pendapat Padmo Wahyono bahwa Politik Hukoem
adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk dan isi Hukoem yang akan
dibentuk. Oleh karena itu berdasarkan pengertian tersebut, suatu politik Hukoem
memiliki tugasnya meneruskan perkembangan Hukoem dengan berusaha membuat
suatu ius constituendum menjadi ius constitutum atau
sebagai penganti ius constitutum yang sudah tidak sesuai lagi
dengan kebutuhan masyarakat. Sedangkan politik Hukoem berbeda artinya dengn
ilmu politik, sebab ilmu politik memiliki pengertian menyelidiki sampai seberapa
jauh batas realisasi yang dapat melaksanakan cita-cita sosial dan kemungkinan
apa yang dapat dipakai untuk mancapai suatu pelaksanaan yang baik dari
cita-cita sosial itu.
Politik Hukoem suatu negara biasanya dicantumkan dalam Undang-
Undang Dasarnya tetapi dapat pula diatur dalam peraturan-peraturan lainnya.
Politik Hukoem dilaksanakan melalui dua segi, yaitu dengan bentuk Hukoem dan
corak Hukoem tertentu.
Bentuk Hukoem itu dapat:
(1) Tertulis yaitu aturan-aturan Hukoem yang ditulis
dalam suatu Undang- Undang dan berlaku sebagai Hukoem positif. Dalam bentuk
tertulis ada dua macam yaitu:
a. Kodifikasi ialah disusunnya ketentuan-ketentuan Hukoem
dalam sebuah kitab secara sistematik dan teratur.
b. Tidak dikodifikasikan ialah sebagai
undang-undang saja.
(2) Tidak tertulis yaitu aturan-aturan Hukoem yang
berlaku sebagai Hukoem yang semula merupakan kebiasaan-kebiasaan dan Hukoem
kebiasaan.
Corak Hukoem dapat
ditempuh dengan:
(1) Unifikasi yaitu berlakunya satu sistem Hukoem
bagi setiap orang dalam kesatuan kelompok sosial atau suatu negara.
(2) Dualistis yaitu berlakunya dua sistem Hukoem
bagi dua kelompok sosial yang berbeda didalam kesatuan kelompok sosial atau
suatu negara.
(3) Pluralistis yaitu berlakunya bermacam-macam
sistem Hukoem bagi kelompok-kelompok sosial yang berbeda di dalam kesatuan
kelompok sosial atau suatu negara.
Di atas telah dijelaskan arti, bentuk, dan corak politik Hukoem,
berikut ini dibahas Politik Hukoem bangsa Indonesia. Keberadaan Hukoem di
Indonesia sebagaimana telah dijelaskan diatas sangatlah dipengaruhi oleh
keberadaan sejarah Hukoem. Hal ini dapat dilihat masih banyaknya undang-undang
yang dibuat jaman Hindia Belanda sampai sekarang masih berlaku. Selain itu,
masuknya Hukoem Islam juga mempengaruhi Hukoem di Indonesia, sebagian
permasalahan-permasalahan perdata masih menggunakan Hukoem Islam. Oleh karen
itu, perlu diketahui terlebih dahulu bagaimana politik Hukoem Hindia Belanda
sehingga dapat memahami bagaimana Politik Hukoem Indonesia. Keberadaan Politik Hukoem
Hindia Belanda dapat dilihat berdasarkan berlakunya 3 pokok peraturan Belanda
(sebagaimana dijelaskan diatas) yaitu masa berlakunya AB, RR dan IS.
Masa Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (A.B)
Pada masa berlakunya AB politik Hukoem Pemerinthan penjajahan Hindia belanda
dapat dilihat dalam pembagian golongan dan berlakunya Hukoem bagi masing-masing
golongan tersebut. Pemerintahan Hindia Belanda berdasarkan Pasal 5 AB membagi
kedalam dua golongan, pasal ini menyatakan bahwa penduduk Hindia Belanda di
bedakan kedalam Golongan Eropa (berserta mereka yang dipersamakan) dan Golongan
Pribumi (berserta mereka
yang dipersamakan
dengannya). Sedangkan Hukoem yang berlaku bagi masing-asing golongan tersebut
diatur didalam Pasal 9 AB dan Pasal 11 AB. Adapun yang diatur didalam kedua
pasal tersebut adalah (dibawah ini bukan merupakan bunyi pasal melainkan
kesimpulan dari bunyi pasal tersebut):
Pasal 9 AB “Menyatakan bahwa Kitab Undang-Undang Hukoem perdata dan
Kitab Undang-Undang Hukoem dagang (yang diberlakukan di hindia belanda) hanya
akan berlaku untuk orang Eropa dan bagi mereka yang dipersamakan dengannya”.
Pasal 11 AB “Menyatakan bahwa untuk golongan penduduk pribumi oleh
hakim akan diterapkan Hukoem agama, pranata-pranata dan kebiasaan orang-orang
pribumi itu sendiri, sejauh Hukoem, pranata dan kebiasaan itu tidak berlawanan
dengan asas-asas kepantasan dan keadilan yang diakui umum dan pula apabila
terhadap orang-orang pribumi itu sendiri ditetapkan berlakunya Hukoem eropa
atau orang pribumi yang bersangkutan telah menundukan diri pada Hukoem eropa”.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka pemerintah penjajahan
Belanda melaksanakan politik Hukoemnya dengan bentuk Hukoem tertulis dan tidak
tertulis. Bentuk Hukoem perdata tertulis ada yang dikodifikasikan dan terdapat
di dalam Burgerlijk Wetboek (BW) dan Wetboek van
Koophandel (WvK); yang tidak dikodifikasikan terdapat di dalam
undang-undang dan peraturan lainnya yang dibuat sengaja untuk itu. Sedangkan
yang tidak tertulis, yaitu Hukoem perdata Adat dan berlaku bagi setiap orang di
luar golongan Eropa. Corak Hukoemnya dilaksanakan dengan dualistis, yaitu satu
sistem Hukoem perdata yang berlaku bagi golongan Eropa dan satu sistem Hukoem
perdata lain yang berlaku bagi golongan Indonesia.
Membedakan golongan untuk memberlakukan Hukoem perdataberdasarkan
sistem Hukoem dari masing-masing golongan menurut pasal 11 AB itu sangat sulit
dalam pelaksanaannya. Hal ini disebabkan tidak adanya asas pembedaan yang tegas
walaupun ada ketentuan pembagian golongan berdasarkan pasal 5.
Dalam pasal 5 hanya menyatakan orang Eropa, orang Bumiputra, orang yang
disamakan dengan orang Eropa dan orang yang
disamakan dengan orang
Bumiputra.
Pembagian golongan menurut pasal 5 hanya berdasarkan kepada
perbedaan agama, yaitu yang beragama Kristen selain orang Eropa disamakan
dengan orang Eropa dan yang tidak beragama Kristen disamakan dengan orang
Indonesia. Karena itu dapat dikatakan bahwa bagi setiap orang yang beragama
Kristen yang bukan orang Eropa kedudukan golongannya sama dengan orang Eropa,
berarti bagi orang Indonesia Kristen termasuk orang yang disamakan dengan orang
Eropa. Hal ini tentunya berlaku juga bagi orangorang Cina, Arab, India dan
orang-orang lainnya yang beragama Kristen disamakan dengan orang Eropa.
Sedangkan bagi orang-orang yang tidak beragama Kristen selain orang Indonesia
dipersamakan kedudukannya dengan orang bumiputra.
Tetapi karena pasal 10 AB memberikan wewenang kepada
GubernurJenderal untuk menetapkan peraturan pengecualian bagi orang Indonesia
Kristen, maka melalui S. 1848: 10, pasal 3 nya Gubernur Jenderal menetapkan
bahwa “orang Indonesia Kristen dalam lapangan Hukoem sipil dan hukurn dagang
juga mengenai perundang-undangan pidana dan peradilan pada umumnya tetap dalam kedudukan
Hukoemnya yang lama”. Dengan demikian berarti bahwa bagi orang Indonesia
Kristen tetap termasuk golongan orang bumiputra dan tidak dipersamakan dengan
orang Eropa.
Masa Regering
Reglement (R.R.)
Politik Hukoem
pemerintah jajahan yang mengatur tentang pelaksanaan tata Hukoem pemerintah di
Hindia Belanda itu dicantumkan dalam pasal 75 RR yang pada asasnya seperti
tertera dalam pasal 11 AB. Sedangkan pembagian penghuninya tetap dalam dua
golongan, hanya saja tidak berdasarkan perbedaan agama lagi melainkan atas
kedudukan “yang menjajah” dan “yang dijajah” Dan ketentuan terhadap pembagian
golongan ini dicantumkan dalam pasal 109 Regerings Reglement. Adapun yang
diatur dalam kedua pasal tersebut adalah (dibawah ini bukan merupakan bunyi
pasal melainkan kesimpulan dari bunyi pasal tersebut):
Pasal 109 RR “Pada pokoknya sama dengan Pasal 5 AB tetapi orang
Pribumi yang beragama Kristen tetap dianggap orang pribumi dan bagi orang
Tionghoa,Arab serta India dipersamakan dengan Bumi Putera”.
Pasal 75 RR “Menyatakan tetap memberlakukan Hukoem eropa bagi
orang eropa dan Hukoem adat bagi golongan lainnya”.
Pada tahun 1920 RR itu mengalami perubahan terhadap beberapa pasal
tertentu dan kemudian setelah diubah dikenal dengar sebutan RR (baru) dan
berlaku sejak tanggal 1 Januari 1920 sampai 1926. Karena itu selama berlakunya
dari tahun 1855 sampai 1926 dinamakan Masa Regerings Reglement.
Sedangkan politik Hukoem dalam pasal 75 RR (baru) mengalami
perubahan asasterhadal penentuan penghuni menjadi “pendatang” dan “yang didatangi”.
Sedangkan penggolongannya dibagi menjadi tiga golongan, yaitu golongan Eropa,
Indonesia dan Timur Asing.
Masa Indische
Staatsregeling (I.S.) Berlakunya IS dengan sendirinya telah menghapus
berlakunya RR. Politik Hukoem Pemerintahan hindia belanda pasa saat berlakunya
IS dapat dilihat dalam Pasal 163 IS dan 131 IS. pada Pasal 163 IS mengatur
pembagian golongan, yang pada intinya seluruh isinya dikutip dari Pasal 109 RR
(baru). Sedangakan Pasal 131 IS mengatur Hukoem yang berlaku bagi masing-masing
golongan tersebut. Adapun yang diatur dalam kedua pasal tersebut adalah
(dibawah ini bukan merupakan bunyi pasal melainkan kesimpulan dari bunyi pasal
tersebut):
Pasal 163 IS
Penduduk Hindia Belanda
dibedakan atas tiga golongan, yakni :
1. Golongan Eropa
2. Golongan Bumi Putera
3. Golongan Timur Asing.
Pasal 131 IS meyatakan
beberapa hal yakni :
1. Menghendaki supaya Hukoem itu ditulis tetap di
dalam ordonansi.
2. Memberlakukan Hukoem belanda bagi warga negara
belanda yang tinggal di hindia belanda berdasarkan asas konkordansi.
3. Membuka kemungkinan untuk unifikasi Hukoem yakni
menghendaki penundukan bagi golongan bumiputra dan timur asing untuk tunduk
kepada Hukoem Eropa.
4. Memberlakukan dan menghormati Hukoem adat bagi
golongan bumi putera apabila masyarakat menghendaki demikian.
Pembagian golongan penghuni berdasarkan Pasal 163 IS sebenarnya
untuk menentukan sistem-sistem Hukoem yang berlaku bagi masing-masing golongan
sebagaimana tercantum dalam Pasal 131 IS. Diatas telah dijelaskan politik Hukoem
pada masa penjajahan belanda, dibawah ini akan dijelasakan politik Hukoem
Indonesia setelah merdeka. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka,
setelah Indonesia merdeka bagaimanakah politik Hukoem Indonesia. Untuk
mengetahui keberadaan politik Hukoem di Indonesia dapat dianalisa berdasarkan
berlakunya Undang- Undang Dasar di Indonesia.
Setelah Indonesia
merdekan sebagai bangsa yang lepas dari penjajahan, maka sebagai dasar negara
dibentuklah UUD 1945 yang mengatur kehidupan bernegara dan berbangsa Indonesia.
Undang-Undang Dasar yang diberlakukan sampai sekarang ini adalah Undang-Undang
Dasar 1945 menurut Dekrit Presiden. Pada umumnya suatu negara mencantumkan
politik Hukoem negaranya di dalam Undang-Undang Dasar, tetapi ada juga negara
yang mencantumkan politik Hukoemnya di luar Undang-Undang Dasar. Bagi negara
yang tidak mencantumkan politik Hukoemnya di Undang-Undang Dasar biasanya
mencantumkan di dalam suatu bentuk ketentuan lain.
UUD 1945 yang berbatang
tubuh 37 pasal tidak mencantumkan tentang politik Hukoem negara. Hal ini
berbeda dengan UUDS 1950 yang mencantumkan politik Hukoemnya di dalam Pasal
102, yang berbunyi: “Hukoem perdata dan Hukoem dagang, Hukoem pidana sipil
maupun militer, Hukoem acara perdata maupun Hukoem acara pidana, susunan dan
kekuasaan pengadilan diatur dalam undang-undang dalam kitab Hukoem. Kecuali
jika pengundang-undang menggap perlu untuk mengatur beberapa hal dalm
undang-undang sendiri”. Berdasarkan Pasal 102 UUDS 1950 arah politik Hukoem
yang dikehendaki membentuk suatu Hukoem tertulis yang dikodifikasi. Tetapi
sebagaimana diketahui dasar negara yang digunakan adalah UUD 1945, maka politik
Hukoem sebagai mana tercantum di dalam Pasal 102 tersebut tidaklah berlaku.
Oleh karena UUD 1945 tidak mengatur politik Hukoem maka didalam
pelasanaan Hukoem berlandasakan kepada Pasal II aturan peralihan UUD 1945. Di
dalam Pasal II aturan peralihan UUD 1945 diatur bahwa “Segala badan Negara dan
peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-Undag Dasar ini”. Ketentuan Pasal II aturan peralihan ini bukan
merupakan politik Hukoem hanya suatu ketentuan yang memiliki fungsi untuk
mengisi kekosongan Hukoem. Fungsinya sama dengan pasal 142 UUDS 1950 dan Pasal
192 UUD RIS yang menyatakan tetap berlakunya peraturan perundangan Hukoem dan
tata usaha yang telah berlaku sebelum berlakunya UUD saat itu.
Dengan adanya Pasal II Aturan Peralihan kekosongan Hukoem dapat
diatasi, yang berarti bahwa aturan-aturan Hukoem yang berlaku pada jaman
penjajahan Belanda tetap berlaku selama belum adanya Hukoem yang baru.
Berlakunya Pasal II aturan peralihan ini disebut dengan asas konkordansi.
Tetapi, walaupun masih ada peraturan Hukoem Belanda yang berlaku setelah
menjadi negara merdeka dewasa ini sebenarnya tidak bertujuan seperti penjajah
Belanda pada zamannya, melainkan hanya sebagai alasan “jangan sampai terjadi
kekosongan Hukoem” saja, sebab kekosongan Hukoem berarti tidak adanya suatu
pegangan dalam tata tertib hidup. Hal ini akan sangat berbahaya dibanding
melanjutkan berlakunya aturan Hukoem Belanda walaupun sudah banyak yang tidak
sesuai lagi dengan kebutuhan dalam pergaulan Hukoem di Indonesia. Karena itu
pemerintah terus berusaha mewujudkan Hukoem nasional sebagai penggantinya yang
dinyatakan secara berencana melalui politik Hukoemnya dalam haluan negara.
Suatu perumusan politik Hukoem yang dinyatakan secara tegas dan bertahap dicantumkan
dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
No comments:
Post a Comment