BAB VI
HUKUM PIDANA
6.1 Pengertian Hukum Pidana
Sebelum
membahass lebih jauh mengenai unsur-unsuur tindak pidana dan unsur-unsuur pertanggungjawaban pidana, penulis akan membahas terlebih dahulu tentang apa
hukum pidana itu sebenarnya, dan mengapa seseorang yang melakukan tindak pidana
harus dipertanggungjawabkan secara pidana?? tentunya penulis memulainya dengan
membahas istilah dan pengertian hukum pidana. Diharapkan pembahasan ini akan
membuat para pembaca memahami betul tentang pemaknaan istilah hukum pidana, sehingga
memudaahkan pembacaa untuk dapat memahami dan membedakan unsur-unsuur tindak
pidana dan pertanggungjawaban pidana.
Pada dasarnya, kehadiran hukum pidana di tengah masayarakat
dimaksudkan untuk memberikan rasa aman kepada indiviidu maupun kelompok dalam masyarakat
dalam melaksanakan aktifitas kesehariannya. Rasa aman yang dimaksudkan dalam
hal ini adalah perasaan tenang, tanpa ada kekhawatiran akan ancaman ataupun
perbuatan yang dapat merugikan antar individu dallam masyarakat. Kerugian
sebagaiimana dimaksud tidak hanya terkait kerugian sebagaimana yang kita pahami
dalam istilah keperdataan, namun juga mencakup kerugian terhadap jiwa dan raga.
Raga dalam hal ini mencakup tubuh yang juga terkait dengan nyawa seseorang,
jiwa dalam hal ini mencakup perasaan atau keadaan psikis.
Istiilah
hukum pidana merupakan terjemahaan dari istilah baahasa Belanda strafrecht Straf berarti pidana,
dan recht berarti hukum.
Menurut
Wirjono Prodjodikoro bahwa istilah hukum pidana itu dipergunakan sejak
penduduk Jepang di Indonesia untuk pengertian strafrecht dari bahasa Belanda, dan untuk membedakannya dari
istilah hukum perdata untuk pengertian burgerlijkrecht
atau privaatrecht dari
bahasa Belanda.
Pengertian
hukum pidana, banyak dikemukakan oleh para sarjana hukum, diantaranya adalah
Soedartoyang mengartikan bahwa: Hukum pidana memuat aturan-aturan hukum yang
mengikatkan kepada perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu
akibat yang berupa pidana.
Satochid
Kartanegara, mengemukakan: Bahwa hukuman pidana adalah sejumlah peraturan yang
merupakan bagian dari hukum positif yang mengandung larangan-larangan dan
keharusan-keharusan yang ditentukan oleh Negara atau kekuasaan lain yang
berwenang untuk menentukan peraturan pidana, larangan atau keharusan itu
disertai ancaman pidana, dan apabila hal ini dilanggar timbullah hak negara
untuk melakukan tuntutan, menjatuhkan pidana, melaksanakan pidana.
Hukum
pidana dalam arti objektif adalah hukum pidana yang berlaku, atau yang
juga disebut sebagai hukum positif atau ius poenale.Hukum
Pidana dalam arti subjektif tersebut, oleh Professor Simons telah dirumuskan
sebagai:
“het geheel van varboden en geboden ,
aan welker overtrading door de Staat of eenige andere openbare
rechtsgemeenschap voor den overtreder een bijzonder leed “straf” verbonden is,
van de voorschriften, doorwelke de voorwarden voor dit rechtsgevolg worden
aangewezen, en van de bepalingen, krachtens welke de straf wordt opgelegd en
toegepast”.
Yang artinya:
“Keseluruhan dari
larangan-larangan dan keharusan-keharusan, yang atas pelanggarannya oleh Negara
atau oleh suatu masyarakat hukum umum lainnya telah dikaitkan dengan
suatupenderitaan yang bersifat khusus berupa suatu hukuman, dan keseluruhan
dari peraturan-peraturan di mana syarat-syarat mengenai akibat hukum itu telah
diatur serta keseluruhan dari peraturan-peraturan yang mengatur masalah
penjaTuhan dan pelaksanaan dari hukumannya itu sendiri”.
Hukum pidana dalam arti
subjektif itu mempunyai dua pengertian, yaitu:
a.
Hak dari negara dan alat-alat
kekuasaanya untuk menghukum, yakni hak yang telah mereka peroleh dari
peraturan-peraturan yang telah ditentukan oleh hukum pidana dalam arti
objektif;
b.
Hak dari negara untuk mengaitkan
pelanggaran terhadap peraturan-peraturannya dengan hukum. Hukum pidana dalam
arti subjektif di dalam pengertian seperti yang disebut terakhir di atas, juga
disebut sebagai ius puniendi.
1.2
Tujuan hukum pidana
·
Prefentif (pencegahan)
Untuk menakut – nakuti
setiap orang jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak baik.
·
Respresif (mendidik)
Mendidik seseorang yang
pernah melakuakanperbuatan tidak baik menjadi baik dan dapat diterima kembali
dalam kehidupan bermasyarakat.
1.3
Pembagian hukum pidana
Hukum
pidana berdasarkan materi yang diaturnya terdiri atas hukum pidana materil dan
hukum pidana formil.Tirtamidjaja menjelaskan hukum pidana materil dan hukum
pidana formil sebagai berikut :
a.
Hukum pidana materil adalah
kumpulan aturan hukum yang menentukan pelanggaran pidana, menetapkan
syarat-syarat bagi pelanggar pidana untuk dapat dihukum, menunjukkan orang
dapat dihukum dan dapat menetapkan hukuman atas pelanggaran pidana.
b.
Hukum pidana formil adalah
kumpulan aturan hukum yang mengatur cara mempertahankan hukum pidana materil
terhadap pelanggaran yang dilakukan orang-orang tertentu, atau dengan kata lain
mengatur cara bagaimana hukum pidana materil diwujudkan sehingga memperoleh
keputusan hakim serta mengatur cara melaksanakan putusan hakim.
Doktrin yang juga membedakan hukum pidana materil dan
hukum pidana formil, dikemukakan oleh J.M. Van Bemmelen menjelaskan kedua hal
tersebut sebagai berikut:10
Hukum pidana materil terdiri atas
tindak pidana yang disebut berturut-turut, peraturan umum yang dapat diterapkan
terhadap perbuatan itu, dan pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu.
Hukum pidana formil mengatur cara bagaimana acara pidana seharusnya dilakukan
dan menentukan tata tertib yang harus diperhatikan pada kesempatan itu.
1.4
Tindak pidana
1.4.1
Pengertian tindak pidana
Pengertian tentang tindak pidana dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah Strafbaarfeit dan dalam kepustakaan
tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat
undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa
pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana.
Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung
suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan
kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak
pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit
dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti
yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan
istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.
Para pakar asing Hukum Pidana menggunakan istiah
Tindak Pidana atau Perbuatan Pidana atau Peristiwa Pidana, dengan istilah:
1.
STRAFBAAR
FEIT adalah peristiwa pidana;
2.
STRAFBARE
HANDLUNG diterjemahkan dengan Perbuatan
Pidana, yang digunakan oleh para sarjana Hukum Pidana Jerman; dan
3.
CRIMINAL
ACT diterjemahkan dengan istilah Perbuatan Kriminal.
1.4.2
Unsur-unsur tindak pidana
Unsur - unsur tindak pidana (delik) : harus ada suatu
kelakuan (gedraging)
harus sesuai dengan uraian
UU ( wettelijke omshrijving) kelakuan hokum adalah kelakuan tanpa hak kelakuan
itu diancam dengan hukuman.
A. Unsur Objektif , adalah
mengenai perbuatan , akibat dan keadaan : Perbuatan : Dalam arti positif,
perbuatan manusia yang disengaja Dalam arti negative , kelalaian Akibat , efek
yang timbul dari sebuah perbuatan Keadaan , sutu hal yang menyebabkan seseorang
di hokum yang berkaitan dengan waktu.
B. Unsur Subjektif Adalah
mengenai keadaan dapat di pertanggung jawabkan dan schold (kesalahan) dalam
arti dolus (sengaja) dan culpa (kelalaian).
1.
Ada Perbuatan (Mencocoki Rumusan Delik)
2.
Ada Sifat Melawan Hukum (Wederrechtelijk)
3.
Tidak ada alasan Pembenar
1.4.3
Jenis-jenis tindak pidana
Dalam membahas hukum pidana, nantinya akan ditemukan
beragam tindak pidana yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Tindak pidana
dapat dibedakan atas dasar-dasar tertentu,yakni sebagai berikut:
a) Menurut sistem KUHP, dibedakan
antara kejahatanyang dimuat dalam buku II dan pelanggaranyang
dimuat dalam buku III.
Alasan pembedaan antara kejatan dan pelanggaran adalah
jenis pelanggaran lebih ringan dari pada kejahatan. Hal ini dapat diketahui
dari ancaman pidana pada pelanggaran tidak ada yang diancam dengan pidana
penjara, tetapi berupa pidana kurungan dan denda, sedangkan kejahatan lebih di
dominasi dengan ancaman pidana penjara.
Kriteria lain yang
membedakan antara kejahatan dan pelanggaran yakni kejahatan merupakan
delik-delik yang melanggar kepentingan hukum dan juga menimbulkan bahaya secara
kongkret, sedangkan pelanggaran itu hanya membahayakan in abstracto saja. Secara
kuantitatif pembuat Undang-undang membedakan delik kejahatan dan pelanggaran
sebagai berikut :
1) Pasal 5 KUHP hanya berlaku bagi perbuatan-perbuatan
yang merupakan kejahatan di Indonesia. Jika seorang Indonesia yang melakukan
delik di luar negeri yang digolongkan sebagai delik pelanggaran di Indonesia,
maka di pandang tidak perlu dituntut.
2) Percobaan dan membantu melakukan delik pelanggaran
tidak dipidana.
3) Pada pemidanaan atau pemidanaan terhadap anak di
bawah umur tergantung pada apakah itu kejahatan atau pelanggaran.
b) Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil dan tindak pidana materil.
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang
dirumuskan sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang
dirumuskan itu adalah melakukan suatu perbuatan tertentu. Perumusan tindak
pidana formil tidak memerlukan dan/atau tidak memerlukan timbulnya suatu akibat
tertentu dari perbuatan sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan
semata-mata pada perbuatannya. Misalnya pada pencurian Pasal 362 untuk
selesainya pencurian digantung pada selesainya perbuatan mengambil.
Sebaliknya dalam rumusan
tindak pidana materil, inti larangan adalah menimbulkan akibat yang dilarang.
Oleh karena itu, siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang
dipertanggungjawabkan dan dipidana. Begitu juga untuk selesainya tindak pidana
materil, tidak bergantung pada sejauh mana wujud perbuatan yang dilakukan,
tetapi sepenuhnya tergantung pada syarat timbulnya akibat terlarang tersebut.
Misalnya wujud membacok telah selesai dilakukan dalam hal pembunuhan, tetapi
pembunuhan itu belum terjadi jika dari perbuatan itu belum atau tidak
menimbulkan akibat hilangnya nyawa korban, yang terjadi hanyalah percobaan
pembunuhan. Perihal pembedaan ini, akan di bahas lebih lanjut pada Sub-Bab
selanjutnya.
c) Berdasarkan bentuk kesalahan, dibedakan antara tindak pidana sengaja (dolus) dan tindak pidana tidak dengan sengaja(culpa).
Tindak pidana sengaja adalah tindak pidana yang dalam
rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan.
Sedangkan tindak tidak sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya
mengandung culpa.
d) Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana aktif/positif dapat juga
disebut tindak pidana komisi dan tindak pidana pasif/negatif, disebut
juga tindak pidana omisi.
Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang
perbuatannya berupa perbuatan aktif, perbuatan aktif adalah perbuatan yang
untuk mewujudkannya disyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang
berbuat. Dengan berbuat aktif orang melanggar larangan, perbuatan aktif ini
terdapat baik dalam tindak pidana yang dirumuskan secara formil maupun secara
materil. Bagian terbesar tindak pidana yang dirumuskan dalam KUHP adalah tindak
pidana aktif.
Tindak pidana pasif ada
dua macam yaitu tindak pidana pasif murni dan tindak pidana pasif yang tidak
murni. Tindak pidana pasif murni ialah tindak pidana yang dirumuskan secara
formil atau tindak pidana yang pada dasarnya semata-mata unsur perbuatannya
adalah berupa perbuatan pasif. Sementara itu, tindak pidana pasif yang tidak
murni berupa tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif,
tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat aktif, atau tindak pidana yang
mengandung suatu akibat terlarang, tetapi dilakukan dengan tidak berbuat/atau
mengabaikan sehingga akibat itu benar-benar timbul.
e) Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan
tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus.
Tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga
untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika atau waktu singkat saja,
disebut juga dengan aflopende
delicten. Sebaliknya ada tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa,
sehingga terjadinya tindak pidana itu berlangsung lama, yakni setelah perbuatan
dilakukan, tindak pidana itu masih berlangsung terus, yang disebut juga dengan voordurende dellicten. Tindak pidana
ini dapat disebut sebagai tindak pidana yang menciptakan suatu keadaan yang
terlarang.
f) Berdasarkan sumbernya, dapat
dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus.
Tindak pidana umum adalah
semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana
materil (Buku II dan Buku III). Sementara itu tindak pidana khusus adalah semua
tindak pidana yang terdapat diluar kodifikasi KUHP.Dalam hal ini sebagaimana
mata kuliah pada umumnya pembedaan ini dikenal dengan istilah delik-delik di
dalam KHUP dan delik-delik di luar KUHP.
g) Dilihat dari sudut subjeknya, dapat dibedakan antara tindak pidana communia (tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang)
dan tindak pidana propria (tindak
pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu).
Pada umumnya tindak pidana itu dibentuk dan dirumuskan
untuk berlaku pada semua orang, dan memang bagian terbesar tindak pidana itu
dirumuskan dengan maksud yang demikian. Akan tetapi, ada perbuatan-perbuatan
yang tidak patut yang khusus hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas
tertentu saja, misalnya pegawai negeri (pada kejahatan jabatan) atau nakhoda
(pada kejahatan pelayaran), dan sebagainya.
h) Berdasarkan perlu tidaknya pengaduandalam hal
penuntutan, maka dibedakan antara tindak
pidana biasa dan tindak pidana aduan.
Tindak pidana biasa yang dimaksudkan ini adalah tindak
pidana yang untuk dilakukannya penuntutan terhadap pembuatnya, tidak disyaratkan
adanya pengaduan dari yang berhak, sementara itu tindak aduan adalah tindak
pidana yangdapat dilakukan penuntutan pidana apabila terlebih dahulu adanya
pengaduan oleh yang berhak mengajukan pengaduan, yakni korban atau wakilnya
dalam perkara perdata, atau keluarga tertentu dalam hal-hal tertentu atau orang
yang diberi kuasa khusus untuk pengaduan oleh orang yang berhak.
i) Berdasarkan
berat-ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan
antara tindak pidana bentukpokok, tindak pidana yang diperberat dan tindak
pidana yang diperingan.
Dilihat dari berat ringannya, ada tindak pidana
tertentu yang dibentuk menjadi:
1) Dalam bentuk pokok disebut juga bentuk sederhana
atau dapat juga disebut dengan bentuk standar;
2) Dalam bentuk yang diperberat; dan
3) Dalam bentuk ringan.
Tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara
lengkap, artinya semua unsurnya dicantumkan dalam rumusan, sementara itu pada
bentuk yang diperberat dan/atau diperingan, tidak mengulang kembali unsur-unsur
bentuk pokok itu, melainkan sekedar menyebut kualifikasi bentuk pokoknya atau
pasal bentuk pokoknya, kemudian disebutkan atau ditambahkan unsur yang bersifat
memberatkan atau meringankan secara tegas dalam rumusan. Karena ada faktor
pemberatnya atau faktor peringannya, ancaman pidana terhadap tindak pidana
terhadap bentuk yang diperberat atau yang diperingan itu menjadi lebih berat
atau lebih ringan dari pada bentuk pokoknya.
j) Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana tidak terbatas macamnya, sangat tergantungpada
kepentingan hukum yang dilindungi dalam suatu peraturan perundang-undangan.
Sistematika pengelompokan
tindak pidana bab per bab dalam KUHP didasarkan pada kepentingan hukum yang
dilindungi. Berdasarkan kepentingan hukum yang di lindungi ini maka dapat
disebutkan misalnya dalam Buku II KUHP. Untuk melindungi kepentingan hukum
terhadap keamanan negara, dibentuk rumusan kejahatan terhadap keamanan Negara
(Bab I KUHP), untuk melindungi kepentingan hukum bagi kelancaran tugas-tugas
bagi penguasa umum, dibentuk kejahatan terhadap penguasa umum (Bab VIII KUHP),
untuk melindungi kepentingan hukum terhadap hak kebendaan pribadi dibentuk
tindak pidana seperti Pencurian (Bab XXII KUHP), Penggelapan (Bab XXIV KUHP),
Pemerasan dan Pengancaman (Bab XXIII KUHP) dan seterusnya.
k) Dari sudut berapa kali perbuatan untuk mejadi suatu
larangan,dibedakan antara tindak pidana
tunggal dan tindak pidana berangkai.
Tindak pidana tunggal adalah tindak pidana yang
dirumusakan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang selesainya tindak pidana
dan dapat dipidananya pelaku cukup dilakukan satu kali perbuatan saja, bagian
terbesar tindak pidana dalam KUHP adalah berupa tindak pidana tunggal.
Sementara itu yang dimaksud dengan tindak pidana berangkai adalah tindak pidana
yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang sebagai selesai dan
dapat dipidananya pelaku, disyaratkan dilakukan secara berulang.
1.5
Pertanggungjawaban pidana
1.5.1
pengertian pertanggungjawabaan pidana
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut
dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus
kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang
terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang
terjadi atau tidak.
Untuk dapat dipidananya si
pelaku, diharuskan tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur
delik yang telah ditentukan dalam Undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya
tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas
tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak
ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang
dilakukannya. Dan dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya
seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya. Pemahaman kemampuan bertanggung jawab menurut beberapa pandangan
adalah sebagaimana diuraikan di bawah ini.1
Menurut pompe kemampuan bertanggungjawab pidana harus
mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
1.
Kemampuan berpikir (psychisch) pembuat (dader) yang memungkinkan ia
menguasai pikirannya, yang memungkinkan ia menentukan perbuatannya.
2.
Oleh sebab itu , ia dapat
menentukan akibat perbuatannya;
3.
Sehingga ia dapat menentukan
kehendaknya sesuai dengan pendapatnya.
Van Hamel berpendapat, bahwa kemampuan bertanggung
jawab adalah suatu keadaan normalitas psychis
dan kematangan, yang mempunyai tiga macam kemampuan :
1. Untuk memahami lingkungan kenyataan perbuatan
sendiri.
2. Untuk menyadari perbuatannya sebagai suatu yang
tidak diperbolehkan oleh masyarakat dan
3. Terhadap perbuatannya dapat menentukan kehendaknya.
1.5.2
unsur-unsur pertanggungjawaban pidana
1.
Mampu bertanggung jawab
Pertanggungjawaban
(pidana) menjurus kepada pemidanaan petindak, jika telah melakukan suatu tindak
pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam undang-undang.
Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang (diharuskan), seseorang
akan dipertanggungjawab-pidanakan atas tindakan-tindakan tersebut apabila
tindakan tersebut bersifat melawan hukum (dan tidak ada peniadaan sifat melawan
hukum atau rechtsvaardigingsgrond atau
alasan pembenar) untuk itu. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab, maka
hanya seseorang yang yang “mampu bertanggung-jawab yang dapat
dipertanggung-jawabkan. Dikatakan seseorang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar), bilamana pada
umumnya :
Dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan
Penerapanya, E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menjelaskan bahwa unsur mampu
bertanggung jawab mencakup:
a. Keadaan jiwanya:
1) Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau
sementara (temporair);
2) Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot,
imbecile, dan sebagainya), dan
3) Tidak terganggu karena terejut, hypnotisme, amarah
yang meluap, pengaruh bawah sadar/reflexe
bewenging, melindur/slaapwandel,
mengigau karena demam/koorts, nyidamdan
lain sebagainya. Dengan perkataan lain dia dalam keadaan sadar.
b. Kemampuan jiwanya:
1) Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya;
2) Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan
tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak; dan
3) Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan
tersebut.
Lebih lanjut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menjelaskan
bahwa:
Kemampuan bertanggungjawab
didasarkan pada keadaan dan kemampuan “jiwa” (geestelijke vermogens),
dan bukan kepada keadaan dan
kemampuan “berfikir” (verstanddelijke
vermogens), dari seseorang, walaupun dalam istilah yang resmi digunakan
dalam Pasal 44 KUHP adalah verstanddelijke
vermogens. untuk terjemahan dari verstanddelijke
vermogens sengaja digunakan istilah “keadaan dan kemampuan jiwa
seseorang”
Pertanggungjawaban pidana disebut sebagai “toerekenbaarheid” dimaksudkan untuk
menentukan apakah seseorang tersangka/terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu
tindak pidana (crime) yang
terjadi atau tidak.5Petindak di sini adalah orang, bukan makhluk lain. Untuk
membunuh, mencuri, menghina dan sebagainya, dapat dilakukan oleh siapa saja.
Lain halnya jika tindakan merupakan menerima suap, menarik kapal dari
pemilik/pengusahanya dan memakainya untuk keuntungan sendiri.
2. Kesalahan
Kesalahan dianggap ada, apabila
dengan sengaja atau karena kelalaian telah melakukan perbuatan yang menimbulkan
keadaan atau akibat yang dilarang oleh hukum pidana dan dilakukan dengan mampu
bertanggung jawab.
Dalam hukum pidana, menurut Moeljatno kesalahan dan
kelalaian seseorang dapat diukur dengan apakah pelaku tindak pidana itu mampu
bertanggung jawab, yaitu bila tindakannya itu memuat 4 (empat) unsur yaitu:6
1.
Melakukan perbuatan pidana (sifat
melawan hukum);
2.
Diatas umur tertentu mampu
bertanggung jawab:
3.
Mempunyai suatu bentuk kesalahan
yang berupa kesengajaan (dolus)
dan kealpaan/kelalaian (culpa);
4.
Tidak adanya alasan pemaaf.
Kesalahan selalu ditujukan pada perbuatan yang tidak
patut, yaitu melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak
melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan. Menurut ketentuan yang diatur
dalam hukum pidana bentuk-bentuk kesalahan terdiri dari
3.
Tidak ada alasan pemaaf
Hubungan petindak dengan
tindakannya ditentukan oleh kemampuan bertanggungjawab dari petindak. Ia
menginsyafi hakekat dari tindakan yang akan dilakukannya, dapat mengetahui
ketercelaan dari tindakan dan dapat menentukan apakah akan dilakukannya
tindakan tersebut atau tidak. Jika ia menentukan (akan) melaksanakan tindakan
itu, maka bentuk hubungan itu adalah “sengaja” atau “alpa”. Dan untuk penentuan
tersebut, bukan sebagai aklibat atau dorongan dari sesuatu, yang jika demikian
penentuan itu berada di luar kehendaknya sama sekali.
Menurut Ruslan Saleh mengatakan bahwa.
Tiada terdapat “alasan pemaaf”,
yaitu kemampuan bertanggungjawab, bentuk kehendak dengan sengaja atau alpa,
tiada terhapus keselahannya atau tiada terdapat alasan pemaaf, adalah termasuk
dalam pengertian kesalahan (schuld).
Pompe mengatakan bahwa.
hubungan petindak dengan
tindakannya ditinjau dari sudut “kehendak”, kesalahan petindak adalah merupakan
bagian dalam dari kehendak tersebut. Asas yang timbul dari padanya ialah: “Tiada
pidana, tanpa kesalahan”.
Menurut Martiman Prodjhamidjojo19 bahwa unsur subjektif
adalah adanya suatu kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan kealpaan, sehingga
perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat di pertanggungjawabkan.Unsur-unsur
subjektif yaitu :
1. Kesalahan;
2. Kesengajaan;
3. Kealpaan;
4. Perbuatan; dan
5. Sifat melawan hukum;
Unsur objektif adalah adanya perbuatan yang
bertentangan dengan hukum atau dengan kata lain harus ada unsur melawan hukum.
Unsur-unsur objektif yaitu :
1. Perbuatan; dan
2. Sifat melawan hukum;
1.5.3
sifat pertanggungjawaban pidana
sifat orang
dapat dipertanggungjawabkan menurut G.A. Van Hamel adalah sebagai berikut:2
1. Jiwa orang harus sedemikian rupa sehingga dia
mengerti atau menginsyafi nilai dari perbuatannya;
2. Orang harus menginsyafi bahwa perbuatannya menurut
tatacara kemayarakatan adalah dilarang; dan
3. Orang harus dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatannya.
1.5.4
sistem pertanggungjawaban pidana
1.6
Tujuan pemidanaan dan jenis-jenis hukuman
A. Pengertian Pemidanaan
Pemidanaan
bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi
dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya diartikan sebagai hukum,
sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman.
Pemidanaan sebagai suatu tindakan
terhadap seorang penjahat, dapat dibenarkan secara normal bukan terutama karena
pemidanaan itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terpidana,
korban, dan juga masyarakat. Karena itu teori ini disebut juga teori
konsekuensialisme. Pidana dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat tetapi
agar pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut melakukan
kejahatan serupa.
B. Jenis-Jenis Pidana
Hukum
pidana indonesia mengenal 2 (dua) jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP
yakni :
1. Pidana Pokok
a. Pidana mati;
b. Pidana penjara;
c. Pidana kurungan; dan
d. Pidana denda.
2. Pidana Tambahan
a. Pencabutan hak-hak tertentu;
b. Perampasan barang-barang
tertentu;dan
c. Pengumuman putusan hakim.
Adapun mengenai kualifikasi
urut-urutan dari jenis-jenis pidana tersebut adalah didasarkan pada berat
ringannya pidana yang diaturnya, yang terberat adalah yang disebutkan terlebih
dahulu. Keberadaan pidana tambahan adalah sebagai tambahan terhadap
pidana-pidana pokok, dan biasanya bersifat fakultatif (artinya dapat dijatuhkan
ataupun tidak). Hal ini terkecuali bagi kejahatan-kejahatan sebagaimana
tersebut dalam ketentuan Pasal 250 bis, 261 dan Pasal 275 KUHP menjadi bersifat
imperatif atau keharusan.
Perbedaan
pidana pokok dan pidana tambahan adalah sebagai berikut :
a. Pidana tambahan hanya dapat
ditambahkan kepada pidana pokok, kecuali dalam hal perampasan barng-barang
tertentu terhadap anak-anak yang diserahkan kepada pemerintah. (Pidana tambahan
ini ditambahkan bukan kepada pidana pokok melainkan pada tindakan).
b. Pidana tambahan tidak
mempunyai keharusan dari pidana tambahan ini adalah fakultatif (artinya bisa
dijatuhkan maupun tidak). (Hal ini dikecualikan terhadap kejahatan sebagaimana
tersebut tersebut dalam ketentuan Pasal 250 bis, 261 dan Pasal 275 KUHP menjadi
bersifat imperatif atau keharusan).
c. Mulai berlakunya pencabutan
hak-hak tertentu tidak dengan suatu tindakan eksekusi melainkan diberlakukan
sejak hari putusan hakim dapat dijalankan.
Berikut ini penjelasan tentang
jenis-jenis dari pidana tersebut di atas adalah sebagai berikut :
1) Pidana Pokok
a. Pidana Mati
Sebagaimana yang ditentukan dalam
Pasal 11 KUHP yaitu :
“Pidana mati dijalankan oleh
algojo di tempat gantunngan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan
tempat terpidana berdiri’.
Di dalam Negara Indonesia tindak
pidana yang diancam pidana mati semakin banyak yaitu pelanggaran terhadap Pasal
104 KUHP, Pasal 111 ayat (2) KUHP, Pasal 124 ayat (3) KUHP, Pasal 140 ayat (4)
KUHP, Pasal 340 KUHP, Pasal 365 ayat (4) KUHP, Pasal 444 KUHP, Pasal 479 ayat
(2) KUHP, dan Pasal 368 ayat (2) KUHP.
Pidana mati juga tercantum
dalam Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 14 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Berdasarkan Pasal 15 pidana mati
juga bagi perbuatan jahat, percobaan atau pembantuan kemudahan, sarana atau
keterangan terjadinya tindak pidana terorisme di luar wilayah Indonesia
terhadap delik tersebut di muka (Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 14).
Apabila terpidana dijatuhi
hukuman mati, maka eksekusi putusan akan dilaksanakan setelah mendapatkan fiat
eksekusi dari Presiden (Kepala Negara) berupa penolakan grasi walaupun
seandainya terpidana tidak mengajukan permohonan grasi. Kemudian untuk
pelaksanaan pidana mati tersebut orang harus juga memperhatikan beberapa
ketentuan yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 2 Undang-undang No. 3 Tahun
1950 tentang Permohonan Grasi yang menyatakan :
1) Jika pidana mati
dijatuhkan oleh Pengadilan maka pelaksanaan dari pidana mati tersebut tidak
boleh dijalankan selama 30 hari terhitung mulai hari-hari berikutnya dari hari
keputusan itu menjadi tidak dapat diubah kembali, dengan pengertian bahwa dalam
hal keputusan dalam pemerikasaan ulangan yang dijatuhkan oleh pengadilan
ulangan, tenggang waktu 30 hari itu dihitung mulai hari berikutnya dari hari
keputusan itu telah diberitahukan kepada terpidana.
2) Jika terpidana dalam
tenggang waktu yang tersebut di atas tidak mengajukan permohonan grasi, maka
Panitera tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) yakni Panitera dari pengadilan yang
telah memutuskan perkaranya pada tingkat pertama harus memberitahukan hal
tersebut kepada Hakim atau Ketua Pengadilan dan Jaksa atau Kepala Kejaksaan
tersebut dalam Pasal 8 ayat (1), (3) dan (4) yakni Hakim, Ketua Pengadilan,
Kepala Kejaksaan pada pengadilan yang memutus pada tingkat pertama serta Jaksa
yang melakukan penuntutan pada peradilan tingkat pertama dengan catatan bahwa
ketentuan-ketentuan dalam Pasal 8 berlaku dalam hal ini.
3) Pidana mati itu tidak dapat
dilaksanakan sebelum Putusan Presiden itu sampai kepada Kepala Kejaksaan yang
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau pada pegawai yang diwajibkan putusan
hakim.
Dengan demikian pelaksanaan pidana
mati harus dengan Keputusan Presiden sekalipun terpidana menolak untuk memohon
pengampunan atau grasi dari Presiden.
Pidana mati ditunda jika terpidana
sakit jiwa atau wanita yang sedang hamil, ini sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang mengatakan pelaksanaan pidana mati
dilakukan dengan memperhatikan kemanusiaan.
b. Pidana Penjara
Menurut Andi Hamzah, menegaskan
bahwa “Pidana penjara merupakan bentuk pidana yang berupa kehilangan
kemerdekaan”. Pidana penjara atau pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya
dalam bentuk pidana penjara tetapi juga berupa pengasingan.16
Pidana seumur hidup biasanya
tercantum di pasal yang juga ada ancaman pidana matinya (pidana mati, seumur
hidup atau penjara dua puluh tahun).
Sedangkan P.A.F. Lamintang
menyatakan bahwa :17
Bentuk pidana penjara adalah merupakan suatu pidana berupa
pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan
menutup orang tersebut dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan dengan mewajibkan
orang itu untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam
lembaga pemasyarakatan yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi
mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.
Dengan adanya pembatasan ruang
gerak tersebut, maka secara otomatis ada beberapa hak-hak kewarganegaraan yang
juga ikut terbatasi, seperti hak untuk memilih dan dipilih (dalam kaitannya
dengan pemilihan umum), hak memegang jabatan publik, dan lain-lain.
Masih banyak hak-hak
kewarganegaraan lainnya yang hilang jika seseorang berada dalam penjara
sebagaimana yang dinyatakan oleh Andi Hamzah , yaitu :18
Pidana penjara disebut pidana
kehilangan kemerdekaan, bukan saja dalam arti sempit bahwa ia tidak merdeka
bepergian, tetapi juga narapidana itu kehilangan hak-hak tertentu seperti :
1) Hak untuk memilih dan dipilih
(lihat Undang-undang Pemilu). Di negara liberal sekalipun demikian halnya.
Alasannya ialah agar kemurnian pemilihan terjamin, bebas dari unsur-unsur
immoral dan perbuatan-perbuatan yang tidak jujur;
2) Hak untuk memangku jabatan
publik. Alasannya ialah agar publik bebas dari perlakukan manusia yang tidak
baik;
3) Hak untuk bekerja pada perusahan-perusahan. Dalam hal ini telah
dipraktikkan pengendoran dalam batas-batas tertentu;
4) Hak untuk mendapat
perizinan-perizinan tertentu, misalnya saja izin usaha, izin praktik (dokter,
pengacara, notaris, dan lain-lain);
5) Hak untuk mengadakan asuransi
hidup;
6) Hak untuk tetap dalam ikatan
perkawinan. Pemenjaraan merupakan salah satu alasan untuk minta perceraian
menurut hukum perdata;
7) Hak untuk kawin, meskipun
adakalanya seseorang kawin sementara menjalani pidana penjara, namun itu
merupakan keadaan luar biasa dan hanya bersifat formalitas belaka; dan
8) Beberapa hak sipil yang lain.
c. Pidana Kurungan
Sifat pidana kurungan pada
dasarnya sama dengan pidana penjara, keduanya merupakan jenis pidana perampasan
kemerdekaan. Pidana kurungan membatasi kemerdekaan bergerak dari seorang
terpidana dengan mengurung orang tesebut di dalam sebuah lembaga
Pemasyarakatan.
Pidana kurungan jangka waktunya
lebih ringan dibandingkan dengan pidana penjara, ini ditentukan oleh Pasal 69
ayat (1) KUHP, bahwa berat ringannya pidana ditentukan oleh urutan-urutan dalam
Pasal 10 KUHP yang ternyata pidana kurungan menempati urutan ketiga. Lama
hukuman pidana kurungan adalah sekurang-kurangnya satu hari dan paling lama
satu tahun, sebagai mana telah dinyatakan dalam Pasal 18 KUHP, bahwa :
“Paling sedikit satu hari
dan paling lama setahun, dan jika ada pemberatan karena gabungan atau
pengulangan atau karena ketentuan Pasal 52 dapat ditambah menjadi satu tahun
empat bulan. Pidana kurungan sekali-kali tidak boleh lebih dari satu tahun
empat bulan”.
Menurut Vos dalam Andi Hamzah
dijelaskan bahwa, pidana kurungan pada dasarnya mempunyai dua tujuan, yaitu:
1) Sebagai custodia honesta untuk tindak pidana yang tidak menyangkut
kejahatan kesusilaan, yaitu delicculpa
dan beberapa delic dolus,
seperti perkelahian satu lawan satu (Pasal 182 KUHP) dan pailit sederhana
(Pasal 396 KUHP). Pasal-pasal tersebut diancam pidana penjara, contoh yang dikemukakan
Vos sebagai delik yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan.
2) Sebagai custodia simplex, suatu perampasan kemerdekaan untuk delik
pelanggaran.
Dengan demikian bagi delik-delik
pelanggaran, maka pidana kurungan menjadi pidana pokok, khususnya di Belanda
pidana tambahan khusus untuk pelanggaran, yaitu penempatan di tempat kerja
negara.19
d. Pidana Denda
Pidana denda merupakan bentuk pidana tertua bahkan lebih tua dari
pidana penjara, mungkin setua dengan pidana mati. Pidana denda adalah kewajiban
seseorang yang telah dijatuhi pidana denda tersebut oleh Hakim/Pengadilan untuk
membayar sejumlah uang tertentu oleh karana ia telah melakukan suatu perbuatan
yang dapat dipidana.
Menurut P.A.F. Lamintang bahwa :20
Pidana denda dapat dijumpai di
dalam Buku I dan Buku II KUHP yang telah diancamkan baik bagi
kejahatan-kejahatan maupun bagi pelanggaran-pelanggaran. Pidana denda ini juga
diancamkan baik baik satu-satunya pidana pokok maupun secara alternatif dengan
pidana penjara saja, atau alternatif dengan kedua pidana pokok tersebut secara
bersama-sama.
Oleh karena itu pula pidana denda
dapat dipikul oleh orang lain selama terpidana. Walaupun denda dijatuhkan
terhadap terpidana pribadi, tidak ada larangan jika denda ini secara sukarela
dibayar oleh orang atas nama terpidana.
2) Pidana Tambahan
Pidana
tambahan adalah pidana yang bersifat menambah pidana pokok yang dijatuhkan,
tidaklah dapat berdiri sendiri kecuali dalam hal-hal tertentu dalam perampasan
barang-barang tertentu. Pidana tambahan ini bersifat fakultatif artinya dapat
dijatuhkan tetapi tidaklah harus.
Menurut
Hermin Hadiati bahwa ketentuan pidana tambahan ini berbeda dengan ketentuan
bagi penjaTuhan pidana pokok, ketentuan tersebut adalah :21
1) Pidana tambahan hanya dapat
dijatuhkan di samping pidana pokok. Artinya, pidana tambahan tidak boleh
dijatuhkan sebagai pidana satu-satunya.
2) Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan apabila di dalam rumusan
suatu perbuatan pidana dinyatakan dengan tegas sebagai ancaman, ini berarti
bahwa pidana tambahan tidak diancamkan.
3) Pada setiap jenis perbuatan
pidana, akan tetapi hanya diancamkan kepada beberapa perbuatan pidana tertentu.
4) Walaupun diancamkan secara
tegas di dalam perumusan suatu perbuatan pidana tertentu, namun sifat pidana
tambahan ini adalah fakultatif. Artinya, diserahkan kepada hakim untuk
menjatuhkannya atau tidak.
Pidana tambahan sebenarnya
bersifat preventif. Ia juga bersifat sangat khusus sehingga sering sifat
pidananya hilang dan sifat preventif inilah yang menonjol. Pidana tambahan pun sering
termasuk dalam kemungkinan mendapat grasi.